Kota terbesar kedua di Jawa Timur ini menawarkan banyak destinasi wisata seru yang bisa kamu kunjungi di momen liburan akhir tahun nanti. Berikut ada rekomendasi 5 destinasi wisata seru di Malang untuk kamu.
1. Gunung Bromo
Ingin mengejar sunrise pertama di tahun 2021? Gunung Bromo bisa jadi pilihan yang super keren lho!
Berada dalam empat wilayah kabupaten; Kabupaten Malang, Probolinggo, Kabupaten Lumajang dan Pasuruan, pesona gunung yang terletak di jantung kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini tak perlu diragukan lagi.
Selain sunrise-nya yang begitu indah dengan siluet Gunung Semeru yang megah di kejauhan, kamu juga bisa menikmati indahnya hamparan savana yang mirip bukit Teletubbies.
Mau yang lebih seru? Jangan lupa sewa tour jip untuk berkeliling di sekitar Bromo. Kamu juga bisa menunggang kuda ke Kawah Bromo lho.
2. Gunung Semeru
Bagi kamu yang memang suka mendaki, Gunung Semeru yang juga berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger bisa jadi destinasi menarik nih!
Sama seperti Bromo, menikmati sunrise di atas gunung ini benar-benar magis karena begitu indah. Gunung yang tertinggi di Pulau Jawa ini menawarkan pemandangan luar biasa di puncaknya.
Selain itu selama pendakian kamu juga akan bertemu dengan Ranu Kumbolo, danau super cantik yang jadi tempat favorit bermalam para pendaki sebelum lanjut summit.
Kamu juga bisa menemukan hamparan bunga Edelweiss dan bunga Verbena Brasiliensis Vell yang hanya ada di Indonesia. Kurang keren apa coba!
3. The Onsen Hot Spring
Jika kamu bukan termasuk yang suka kegiatan ekstrem dan liburan bersama keluarga, the Onsen Hot Spring bisa jadi pilihan tempat bermalam sekaligus liburan yang pas.
Di sini kamu bisa merasakan sensasi liburan ke Jepang lho! Ada cottage yang desainnya menyerupai rumah tradisional Jepang dan diberi nama sesuai dengan kota yang ada di Jepang.
Pengunjung juga bisa berendam air panas dengan santai di onsen. Tenang, tempat pemandian air panas perempuan dan laki-laki dipisah kok.
Selain itu resort ini juga memiliki banyak spot foto Instagramable yang tak kalah cantiknya dari yang asli. Pemandangan di sekitarnya juga asri. Cocok sebagai tempat ‘lari sejenak’ dari aktivitas ibukota yang sibuk.
4. Jawa Timur Park
Ke Malang bersama keluarga rasanya kurang pas jika tidak liburan ke salah satu taman hiburan terkeren di Indonesia ini.
Saking besarnya, Jatim Park ini dibagi menjadi tiga kawasan lho! Jatim Park 1 cocok untuk kamu yang suka bermain di berbagai wahana seru.
Ada juga wahana yang berhubungan dengan sains, sejarah dan budaya yang tak kalah menariknya. Terdapat juga kolam renang berukuran besar yang dihiasi patung tokoh sejarah Indonesia; Ken Arok, Ken Dedes dan Mpu Gandring.
Nah, untuk Jatim Park 2 lebih dikhususkan sebagai taman rekreasi alam dan satwa liar. Di sini terdapat Museum Satwa yang menyajikan diorama berbagai satwa liar di habitat aslinya. Ada juga T-rex dalam ukuran besar lho!
Di Jatim park 2 juga ada Batu Secret Zoo; kebun binatang yang berisi ratusan spesies burung, singa, harimau, macan tutul hingga koleksi ular yang pastinya disukai semua anggota keluarga.
Selanjutnya, Jatim Park 3 menawarkan ‘surga’ bagi pecinta dinosaurus karena disini terdapat Jurassic Park yang berisi replika berbagai jenis dinosaurus yang pernah ada.
Di sini terdapat wahana jelajah 5 zaman dimana kamu dan keluarga bisa mengetahui perkembangan dinosaurus di jaman dulu. Jatim Park 3 juga menyediakan Terminal Selfie, Ice Cream World, pameran cahaya Infinite World dan miniatur negara-negara di dunia, seperti Korea hingga India.
5. Museum Angkut
Tempat wisata edukasi yang satu ini juga cocok untuk destinasi liburan keluarga. Museum seluas 3,8 hektar ini memiliki koleksi sekitar 300 kendaran dari berbagai era dan juga negara lho!
Ada delapan zona pameran yang memiliki keunikan tersendiri. Mulai dari Main Hall yang menampilkan koleksi kendaraan antik, hingga Educational Hall dimana kamu bisa belajar mengenai sejarah transportasi. Ada juga Euro Zone yang jadi tempat menampilkan berbagai mobil dari negara di Eropa; termasuk mobil Range Rover yang pernah dipakai Ratu Inggris.
Puas melihat koleksi museum, kamu bisa lanjut mengunjungi Pasar Apung yang ada di bagian luar museum. Pasar Apung ini merupakan replika pasar terapung yang dipakai untuk menjual berbagai makanan dan minuman.
Bagaimana, sudah siap liburan akhir tahun ke Malang? Jangan lupa pesan tiket busnya pakai Traveloka yuk! Ada banyak agen tiket bus travel terpercaya yang bisa kamu pilih dan sesuaikan harganya dengan budget liburan kamu.
Selamat menyiapkan liburan!
Jujur saja, saya termasuk orang yang tidak memiliki pengetahuan literasi luas. Walaupun istilah literasi luas itu masih bisa diperdebatkan bagaimana dan ukuran batasnya, tapi ketika orang-orang banyak memuji karya-karya Eka Kurniawan, atau mengutip salah satu kalimat buku Tere Liye berbau motivasi untuk dijadikan status media sosial, saya tidak melakukannya karena tidak pernah membaca karya kedua penulis Indonesia yang sangat produktif tersebut.
Saya juga tidak membaca semua Harry Potter, menyerah membaca Madilognya Tan Malaka, dan, oh iya, mohon maaf juga karena belum punya satu pun buku Fiersa Besari. Semoga anak senja, pecinta kopi, penyemai rindu, pembaca semesta, peluruh daki, pembesar tiang listrik, dan penikmat bau bensin tidak marah.
Eh, tapi walaupun literasi saya terbilang terbatas, saya masih punya kok beberapa karya yang bisa dibilang begitu nyangkut di kepala hingga sekarang. Karya-karya yang mungkin terdengar jadul karena memang saya nikmati ketika kecil, remaja, bahkan sampai sekarang. Dulu, tiap anak remaja pasti punya role model yang ingin dia tiru habis-habisan setelah menonton atau membaca sebuah novel.
Novel berjudul Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar, misalnya. Membaca novel tersebut ketika masa puber sedang berada pada puncaknya sungguh menambah akselerasi hormon menuju manusia dewasa. Sosok tokoh utama Anton Rolimpande yang flamboyan dan menarik perhatian cewek semudah menarik upil gantung membuat diri ini ingin sekali seperti dirinya. Gebet sana-sini. Marini, Erika, dan dosen tercantik di kampusnya habis kalau tidak dighosting, ya di PHP-in Anton. Fakboi baca novel ini langsung insecure kayaknya. Waktu saya SMA karya ini diangkat versi sinetronnya, Anton yang di versi filmnya diperankan Roy Marten, di versi sinetron dimainkan oleh Indra Brugman.
Lalu ada juga Catatan si Boy. Saya kurang tahu apakah karya legendaris ini berasal dari sebuah buku atau bukan. Yang jelas penggambaran sosok Boy yang sempurna menjadi khayalan tingkat tinggi remaja seperti saya agar bisa menjadi tokoh ikonik yang diperankan Ongky Alexander itu. Bagaimana tidak, Boy yang anak orang kaya, lulusan luar negeri, digilai banyak wanita, punya teman lucu macam Emon, pergaulan luas, namun tetap rajin sholat. Boy adalah Fahri Ayat-ayat Cinta yang lebih humanis. Walau begitu, sebetulnya cerita Catatan si Boy ini cukup sederhana, cenderung cetek bahkan. Hanya tentang kisah cinta yang kepentok restu orang tua. Pelajaran yang bisa diambil adalah lihat Si Boy, yang begitu sempurna saja calon mertuanya tidak setuju, terus kamu yang masih makan indomi pake nasi, motor beat, odolnya ciptaden, sendalnya swallow beda warna, OOTD-nya kaos partai, dan hobinya rebahan sambil mantengin berita Aurel-Atta ngarep dapet mertua kayak Abu Rizal Bakrie? Ckckckckck…
Namun, semua kembali kepada bahwa sebuah karya menajdi sangat bagus jika sangat relate dan dekat dengan penikmatnya. Mungkin karena itu dilahirkanlah ke dunia seorang Hilman Hariwijaya untuk menulis kisah Lupus. Setelah membaca Anton Rolimpande, menonton Boy, lalu menikmati Lupus, maka saya putuskan bahwa “Ini nih gue banget!”. Tokoh Lupus anak sekolahan yang sederhana, selalu susah payah menarik perhatian lawan jenis, suka menulis di majalah, penggemar band Duran Duran menjadikannya begitu hidup dan mudah diterima.
Dilihat dari segi teknisnya, Hilman Hariwijaya melalui Lupus ini cukup menawarkan sebuah kebaruan buat dunia literasi yang pada zamannya disominasi drama yan nyastra banget. Lupus hadir dengan humor tongkrongan yang menjadi bacaan wajib remaja kala itu. Dari Lupus pula cikal bakal judul-judul buku plesetan bermunculan. Setahu saya ada beberapa judul serial Lupus yang diambil dari judul film hits yang diplesetkan. Seperti Kejar Daku Kau Kujitak, Interview With The Nyamuk, dan yang paling ikonik adalah The Lost Boy, yang covernya bergambar logo film The Lost World namun siluet T-Rex nya diganti dengan siluet khas Lupus yang berjambul dengan gelembung permen karet di mulut.
Dari Hilman Hariwijaya dengan Lupusnya lah saya sedikit belajar bahasa prokem peralihan dari tahun 80an ke 90an. Cembokur, sepokat, pembokat, rokum, ogut, kece, hebring, doski,mejeng, ngelancong, kelokur, adalah contohnya. Banyak pula di serial Lupus, kalau kita jeli, berisi keritikan terhadap Orde Baru yang disampaikan dengan humor satir.
Selain Lupus sendiri, yang tidak bisa dilupakan dari kisahnya adalah duo side kick legendaris bernama Boim dan Gusur. Bacalah yang mana saja serial Lupus, saya tidak pernah tidak ketawa kalau kedua makhluk ini kebagian adegan.
Hilman Hariwijaya yang secara tidak langsung membuat saya sedikit-sedikit menyukai dunia tulis menulis, khususnya tulisan bebas berbau komedi. Walaupun kalau dibaca ulang sekarang serial Lupus ini banyak jokes yang sudah tidak relevan lagi, namun gaya penulisan Hilman pernah saya coba tiru dibeberapa tulisan saya.
Serial Lupus pernah diangkat ke berbagai versi baik film maupun sinteron. Hilman Hariwijaya sendiri pun pernah berperan sebagai Lupus. Tetapi tentu saja yang paling ikonik adalah Ryan Hidayat dalam film dan Irgi Fachrezi di sinetronnya. Pernah juga diremake ke layar lebar dan diperankan oleh Miqdad Ad-dausi dengan lawan main Acha Septriasa. Kurang memuaskan, sih, karena Lupusnya kelewat alim.
Saya masih berharap ada produser yang mau mengangkat lagi kisah Lupus ini. Bintang Emon cocok tuh jadi cast Lupus. Ngocolnya sudah tidak perlu dicasting lagi. Ayo, bangun lagi, dong, Lupus =)
Sesampainya di bandar udara Ninoy Aquino International Airport, Manila, pun protokol penanganan COVID-19 baru sebatas pengecekan suhu dan penyediaan hand sanitizer di hampir setiap titik. Kami bahkan tidak diberikan kartu kuning untuk diisi. Menurut informasi, saat itu kasus positif corona di Filipina baru tiga orang.
![]() |
Stop berkerumun dulu, ya... |
Masalah muncul ketika teman seperjalanan saya merasa tidak enak badan. Waktu itu kami berasumsi mungkin karena terlalu capek. Maklum, kami banyak berjalan kaki untuk pindah dari satu titik ke titik lain. Suasana Manila yang tingkat stresnya sama seperti Jakarta bisa saja menyerang ketahanan fisik. “Dibawa tidur aja juga besok sembuh ini mah.” Kata teman saya, pede.
Keesokan harinya, sepulang dari Kota Tagaytay, kondisi teman saya justru memburuk. Muncul gejala seperti batuk-batuk, bersin, dan sedikit meler. Kondisi seperti itu di tengah isu COVID-19 tentu sangat mengkhawatirkan. Teringat kami mengunjungi beberapa tempat dengan kerumunan yang padat selama beberapa hari. Lalu kami pun banyak berpindah-pindah penginapan yang tidak diketahui siapa yang pernah tidur di sana. Itu belum termasuk kunjungan kami ke beberapa pasar tradisional di Manila dan bertemu dengan beberapa traveler lain dari negara berbeda yang bisa saja menjadi carrier.
Kalau waktu itu bisa test corona online, sih, enak ya. Seperti aplikasi di Halodoc yang kini bisa mendeteksi dini gejala corona sehingga kita bisa konsultasi awal dengan dokter. Nnanti akan direkomendasikan obat yang diperlukan, hingga kalau perlu dirujuk ke rumah sakit. Kalau sudah ada guidance dari dokter kan lebih tenang. Cukup efektif juga walaupun sedang berada di luar negeri.
Akhirnya kami hanya bisa membeli obat di Guardian-nya Manila. Puji Tuhan, kesehatan teman saya membaik dan ketika pulang, di thermo scanner di Soekarno-Hatta pun suhu tubuhnya normal. Satu minggu setelah kepulangan kami, barulah kasus pertama COVID-19 ditemukan. Filipina, beberapa hari kemudian me-lockdown Metro Manila.
Bersyukur dan sedih bercampur jadi satu. Bersyukur karena Manila dilockdown saat kami sudah pulang. Duh, tidak terbayang kalau sampai ‘terjebak’ di Manila dan gagal pulang ke Indonesia. Sedih juga karena bukan hanya di Filipina, sejak hari itu di Indonesia pun wabah corona menyebar tak terkendali.
Sekarang yang bisa kita lakukan adalah menjaga diri, dan orang sekitar kita. Tetap bersih, pakai masker, jaga jarak, hindari keramaian dan rajin cuci tangan, jangan mudik dan pulang kampung. Eh, mudik sama pulang kampung sama tidak, sih? Anyway, Jika merasa kurang enak badan, istirahat yang cukup dan jangan ragu konsultasi ke dokter. Sebab seperti jatuh cinta, gejala terinfeksi corona harus dikenali sejak awal agar tidak memburuk.
![]() |
Mohon maaf, lagi nggak punya stok foto bandara =( |
1. Soekarno Hatta, Indonesia
Setelah memastikan berkali-kali hingga hari H keberangkatan, tepat di hari Valentine tahun ini, saya berangkat ke Manila, Filipina. Mendapat jadwal flight pada jam abu-abu seperti 00.15 membuat saya was-was, takut terlalu cepat satu hari datang ke bandara, atau paling apes ketinggalan pesawat karena mengira penerbangan di hari berikutnya.
Sepulang kantor saya langsung meluncur ke stasiun kereta bandara. Sampai di sana saya makan di KFC. Lalu teringat travelmate langganan, si Centong, dia juga akan bersama saya sdi trip Filipina kali ini. Bedanya, dia ke bandara naik Damri dari Serang. Untuk memastikan posisi, terjadi chat dengan percakapan begini,
“Cen, gue lagi di KFC stasiun nih. Mau nitip gak lu? Ntar gue bungkusin.”
“Wah, boleh. Dada, ya.”
“Sip. Lu di mana?”
“Udah sampe bandara, nih.”
“Gue bentar lagi jalan, setengah jam lah sampe. Lu nunggu di mana?”
“Depan KFC.”
“….”
Beberapa menit kemudian Centong makan paket KFC Stasiun kereta bandara yang sudah dingin di depan KFC bandara. Suplai chain management KFC sungguh kami bikin berantakan hari itu. Kolonel Sanders geleng-geleng kepala di atas sana.
Masih bersama saya dan Centong. Pagi buta dengan suhu 8 derajat celcius New Delhi kami terobos demi mendapat kejelasan terbang atau nggak kami ke Kashmir setelah tiga hari sebelumnya maskapai yang kami tumpangi memberi tahu bahwa penerbangan kami dicancel secara sepihak.
Driver kami, Atter, dengan perhatian penuh berpesan,
“Kabari kalau flight kalian sudah jelas, nanti saya jemput lagi di sini kalau betul-betul kalian gagal berangkat.”
Saya dan Centong dengan tampilan seadanya dan masih bau iler masuk ke bandara terbesar di India itu. Menurut klaimnya sih, bandara ini tiap hari menampung 4 juta penumpang. Kami melewati pintu setelah sebelumnya diperiksa oleh personel militer lengkap dengan senjatanya.
Di dalam, kami langsung menyerbu konter maskapai berlogo dominan merah.
“Maaf, Pak, penerbangan anda sudah dibatalkan.” Kata petugas dari balik kaca.
“Apa nggak ada opsi lain? Pindah ke maskapai lain?”
“No.”
“Reschedule?”
“No.”
“Saya ganteng, dan idaman mertua?”
“No.”
Kami hampir pasrah merelakan liburan lihat salju di Kashmir. Bolak-balik ke konter pelayanan, walau dengan petugas berbeda, teteapi hasilnya sama saja. NO! Untungnya Tuhan memberi jalan lain. Seorang petugas perempuan menghampiri kami alih-alih lapor security untuk mengamankan kami, kayaknya kasihan melihat dua orang traveler yang terindikasi kena gizi buruk luntang lantung nggak jelas. Kami diminta menunjukkan tiket, paspor, dan visa.
Saya diarahkan ke back office konter pelayanan tadi. Di sana lalu ada petugas yang lebih ramah dan memberi kami opsi reschedule lusa. Ya sudah kami ambil daripada nggak ke Kashmir sama sekali. Kami berterima kasih, lalu bergegas pergi. Tetapi petugas itu menahan kami.
“Kalian akan keluar di damping sama petugas. Tunggu.”
Kirain sama petugas maskapai. Nggak tahunya sama petugas militer dengan senjata lengkap. Kami digiring lewat pintu belakang kayak artis kena skandal selingkuh sama marmut.
Selesai? Oh, belum. Kami harus mengabarkan Atter untuk menjemput, karena harus kembali ke New Delhi. Masalahnya, selama di India kami hanya mengandalkan wifi penginapan untuk berkomunikasi. For your very very important information, wifi gratis di Indira Gandhi International Airport itu baru bisa digunakan kalau punya nomor lokal India. Pagi itu saya di pelataran bandara berjalan dari ujung ke ujung demi mencari keajaiban siapa tau ada wifi tak berpassword nyangkut. Nihil.
“Bal, tuh ada kios kopi. Sepik-sepik beli, yuk. Terus minjem tetring.”
Beberapa menit kemudian Atter menjemput kami karena mendapat pesan Whatsap. Terima kasih kepada tukang kopi yang mau baik hati berbagi hotspot internet dari ponselnya.
3. Jaipur International Airport, India
Saya pernah menceritakan kejadian salah tulis nomor paspor si Centong. Intinya kami tertahan karena ada kenggaksesuaian antara nomor passport asli dan yang tercantum di visa. Saya nggak habis pikir kenapa bisa lolos hingga Jaipur padahal pemerikasaan berlapis mulai dari Indonesia.
Apply visa, lolos, approved. Pede.
Di Soekarno Hatta, lolos. Pede.
Di Jaipur. Si Centong nyaris dideportasi.
4. Srinagar International Airport, India
Kashmir sebagai wilayah India yang memiliki konflik berkepanjangan membuat provinsi Srinagar, yang berbatasan dengan Pakistan, dijaga ketat. Mulai masuk pintu gerbang bandara, hanya boleh yang pegang tiket yang masuk. Itu pun penumpang harus turun dari mobil untuk melewati beberapa pos pemeriksaan. Tentara yang berjaga pun kelihatannya seperti di negara yang sedang menerapkan status DEFCON atau siap perang. Peralatannya lengkap, senjata, helm, hingga rompi antipeluru.
Sampai depan terminal bandara, Hilal, tour guide sekaligus driver kami mengingatkan,
“Cepat ambil barang kalian, kami di sini cuma diizinkan lima menit. Lebih dari itu kami ditangkap.”
Lah buset! Demi lepas dari tanggung jawab dipenjaranya seorang driver, kami pun buru-buru mengambil tas di bagasi.
Seperti umumnya bandara internasional lainnya, sesaat setelah mendarat, penumpang yang mau masuk tertori Kamboja harus mengisi form kedatangan. Kebetulan saya lupa bawa pulpen, jadi harus antri panjang untuk mengisi form di sebuah meja yang ada pulpennya.
Hampir bosan antri, ada petugas berseragam imigrasi Kamboja. Wajahnya seperti tentara Vietkong di film Rambo.
“Kamu lagi ngapain di sini?” Tanyanya. Tadinya kepengin saya jawab, “LAGI LATIHAN BALET LAH, MASA LAGI TAHLILAN!”. Tapi nggak jadi, taku diangkut Pol PP bandara chapter Kamboja.
“Saya nggak ada pulpen untuk isi ini. Anda punya? May I borrow?”
Wajah angker itu tersenyum,
“Sudah, langsung saja ke konter imigrasi.”
“Loh, ini gak perlu diisi?”
“Relaks. Enjoy your trip.”
Saya pun melewati imigrasi tanpa halangan. Kamboja adalah negara paling santuy soal imigrasi. jauh dari kesan mengintimidasi di mana biasanya konter ini yang paling bikin deg-degan jika ingin memasuki suati negara. Kepengen rasanya dadah dadah ke bule yang masih pada antri isi form. Bahkan saya nggak ditanya tiket pulang, menginap di mana, nggak periksa sidik jari, nggak difoto, pokoknya tinggal cap jebret, lolos deh.
Airport di negara tetangga ini langganan untuk transit kalau tidak ada penerbangan langsung ke nergara yang dituju. Pernah transit selama 12 jam di sini dan tidur di area bebas rokok. Pernah juga nyaris ditinggal pesawat karena lupa menset waktu otomatis di ponsel karena perbedaan waktu di Indonesia dengan Malaysia berbeda satu jam.
Cerita pertama saya cukup berkesan, kalau tidak mau dibilang norak, di bandara ini. Yaitu kucing-kucingan sama petugas kebersihan untuk mandi di toilet. Waktu itu udah dua hari nggak mandi, Hyung! Saya berhasil menyelundupkan handuk kecil, sabun, beserta seperankat alat gosok gigi. Yos 1 – 0 Petugas kebersihan.
Lalu yang paling nyeleneh ya ketika ada seorang lelaki berpaspor kamboja tiba-tiba berbicara sesuatu yang tidak jelas. Saya, dan Centong yang tidak mengerti apa yang beliau maksud hanya saling tatap mencoba menerka. Hingga tiba-tiba si bapak tadi menggesturkan mau membuka resleting celananya. Wait, apaan nih? Mau pamer pola celana boxer? Lalu dia menyebutkan sesuatu berkali-kali yang terdengar seperti,
“Ooohhh…rest room? Dia nanya toilet, Bal.” Teman saya akhirnya mengerti.
“Kirain nanyain mantri sunat.”
7. Ninoy Aquino International Airport, Filipina
Selalu ada pertama kali untuk setiap orang. Filipina membuat itu terjadi kepada saya. Di sini untuk pertama kalinya saya mencoba minum bir. Di sini pula saya selama sepuluh hari berturut-turut makan junk food tiap hari.
Di Ninoy International Airport saya melakukan debut membeli barang di gerai bebas pajak dan cukai bandara. Sebotol Liquid Coentrau, minuman beralkohol untuk dibawa pulang ke Indonesia. Ini pesanan teman. Katanya kalau di Indonesia harganya lebih mahal beberapa ratus ribu.
Membeli barang di toko duty free umumnya bertujuan untuk menghindari pengenaan cukai di negara tujuan, makanya saya membeli minuman itu di bandara. Teman saya sudah menitipkan paspor dan kartu kreditnya untuk digesek guna menuntaskan pembayaran. Nah, saya tidak tahu hingga sesaat ketika mau membayar bahwa untuk belanja di merchant buty free harus menunjukkan boarding pass juga. Dengan kata lain, saya nggak bisa menggunakan kartu kredit teman saya, karena sudah pasti namanya nggak match sama boarding pass.
Di sini pentingnya punya simpanan uang cash sebagai cadangan, atau peluru terakhir di saat darurat. Akhirnya saya merogoh kantung uang terdalam saya, lalu mengambil peluru terakhir berupa selembar pecahan 100USD dan membayar minuman beraroma citrus itu seharga 40 USD. Gagal, deh, nimbun Dollar.
Begitulah bandara. Ceritanya nggak pernah biasa-biasa saja. Derap langkah dan suara gesekan di lantai roda koper adalah satu dari sekian banyak hal yang mewakili bunyi antusiasme manusia sebelum mereka pergi, atau hendak kembali. Semuanya, sebelum mengudara.

1. Performa



2. Layar






4. Aksesoris Pendukung Gaming



5. Kamera




